Sabtu, 03 November 2012

Sinopsis Novel Saman


Sinopsis Novel

Saman                                                                                                                            

Empat perempuan bersahabat sejak kecil. Shakuntala si pemberontak. Cok si binal. Yasmin si "ja'im". Dan Laila, si lugu yang sedang bimbang untuk menyerahkan keperawanannya pada lelaki beristri.
Tapi, diam-diam dua di antara sahabat itu menyimpan rasa kagum pada seorang pemuda dari masa silam: Saman, seorang pastor yang akhirnya memilih untuk meninggalkan panggilan imamatnya demi menjadi aktivis di antara kaum miskin. ia pun menjadi buron dalam masa rezim militer OrdeBaru sehingga harus melarikan diri ke luar negeri. kepada Yasmin, atau Lailakah, Saman akhirnya jatuh cinta?
 Novel Saman mendapat penghargaan Roman Terbaik Dewan Kesenian Jakarta 1998 dan telah diterjemahkan dalam enam bahasa asing: Belanda (de Geus), Perancis (Flammarion), Jepang (Mokusheisha), Jepang (Horlemann), Inggris (Equinox), dan Cheks (Dybbuk). Kini juga dalam proses penerjemahan ke dalam bahasa Korea.
Central Park, 28 Mei 1996 
Di taman ini, saya adalah seekor burung.
Terbang beribu-ribu mil dari sebuah negeri yang tak mengenal musim, bermigrasi mencari semi, tempat harum rumput bisa tercium, juga pohon-pohon, yang tak pernah kita tahu namanya, atau umurnya.
Aroma kayu, dingin batu, bau perdu dan jamur-jamur—adakah mereka bernama, atau berumur? Manusia menamai mereka, seperti orang tua memanggil anak-anaknya, meskipun tetumbuhan itu lebih tua. Rafflesia arnoldi, memang tidak mekar di Central Park, melainkan di hutan tropis dataran tinggi Malaya, tetapi kita tahu laki-laki Inggris kemudian menjadi ayah bunga itu. Orang-orang berbicara tentang segala yang tumbuh, yang ditanam maupun liar, seolah mengenal mereka lebih daripada pokok-pokok itu sendiri mengenal dingin dan matahari, ataupun hangat bumi. Namun binatang idak menghafal pohon-pohon karena namanya, seperti seekor induk atau sepasang tidak memanggil tetasannya atau susuannya dengan nama. Mereka mengenal tanpa bahasa.
Di taman ini hewan hanya bahagia, seperti saya, seorang turis di New York. Apakah keindahan perlu dinamai?
Pukul sepuluh pagi.
Meski hari masih muda, bayang-bayang telah menjadi lisut, sebab setiap tahun di akhir semi siang sudah semakin lama. Unggas kecil mencari matahari dari celah-celah daun, membiarkan garis-garis cahaya memanasi birahi hingga tanak seperti nasi. Beberapa, yang terdengar bernyanyian, akan pacaran dan kawin di musim ini. Seperti sepasang mungil yang berdada putih itu. Yang jantan bermantel coklat tua, yang betina coklat muda. Kita pun tidak tahu namanya. Kita cuma tahu, mereka bahagia. Adakah keindahan perlu dinamai?
Seorang gelandangan yang berbaring di bangku menggeliat dalam selimut yang berdebu. Kita tidak tahu siapa dia, apa warna kulitnya. Tapi kita tahu, dia menikmati tidur. Saya sedang berbahagia, begitu saya akan menjawab jika ia bangun dan bertanya apa saja. Bahkan jika ia bertanya dari dalam mimpi. Saya akan pacaran, seperti burung berbusung bersih di ranting tadi. Saya akan pelukan, ciuman, jalan-jalan, dan minum di Russian Tea Room beberapa blok ke barat daya. Mahal sedikit tidak apa-apa. Sebab hari ini cuma sekali.
Sebab saya sedang menunggu Sihar di tempat ini. Di tempat yang tak seorang pun tahu, kecuali gembel itu. Tak ada orang tua, tak ada istri. Tak ada hakim susila atau polisi. Orang-orang, apalagi turis, boleh menjadi seperti unggas: kawin begitu mengenal birahi. Setelah itu, tak ada yang perlu ditangisi. Tak ada dosa.
Dan kalau dia datang ke taman ini, saya akan tunjukkan beberapa sketsa yang saya buat karena kerinduan saya padanya. Serta beberapa sajak di bawahnya. Kuinginkan mulut yang haus/ dari lelaki yang kehilangan masa remajanya/di antara pasir-pasir tempat ia menyisir arus. Saya tulis demikian pada sebuah gambar cat air. Barangkali sebuah kilang minyak di tengah ombak, entahlah. Gambar dan sajak tak perlu definisi dan tak perlu diterangkan. Mereka cuma menyimpan perasaan. Barangkali juga keindahan.
Dan kalau dia datang dan melihatnya, dia akan tahu sudah terlalu kangen saya pada bau pelukannya, pada hangat lidahnya yang harum tembakau Skoal. Sebetulnya ia senang perokok, tetapi ia tidak menghisapnya karena ia menimbang perasaan orang-orang yang tak suka asap rokok. Kini ia hanya mengunyah biji-biji hitam tembakau, menyedot tanpa asap. Ia sopan dan pagi ini sudah empat ratus dua hari setelah ciuman kami yang terakhir—pertemuan terakhir kami juga.
Saya selalu ingat dan berulangkali menghitung tanggal. Sebab siang itu menyisakan kegetiran, seperti biji duku yang tergigit lalu tertelan, juga kerinduan akan kesempatan lain yang mungkin. Yang barangkali juga tidak mungkin. (Semoga hari ini menjadi mungkin.)
Kami berada di sebuah kamar hotel. Saya hampir-hampir gemetaran karena malu dan berdebar. Saya belum pernah sekamar dengan seorang laki-laki sebelumnya. Dia diam, tidak bercerita apakah dia pernah membawa perempuan seperti ini. Tetapi dia adalah seorang lelaki yang bekerja di kilang minyak, yang menghabiskan beberapa bulan di tengah hutan atau lautan, dari sana kehidupan terdekat hanyalah warung-warung kecil dengan pelacur di biliknya yang muram dan berlumut pada dinding, atau perkampungan yang banyak gadis-gadis ranumnya senang dikawini oleh para buruh perminyakan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar