PARA PRIYAYI
SINOPSIS
Cerita ini berawal dari sebuah kota
bernama Wanagalih, yang merupakan tempat pertemuan antara Bengawan Solo dan
Kali Mediun. Sebuah kota lama yang hadir semenjak pertengahan abad ke-19, kota
itu tampak kecil dan begitu-begitu saja. Pohon-pohon asam yang besar-besar dan
rindang yang tumbuh berjajar di sepanjang jalan, kini tak ada lagi karena telah
terganti oleh pohon akasia yang Nampak lebih ramping. Dinamakan Wanagalih
karena kota itu dikepung oleh hutan jati, yaitu dari kata Wana yang
berarti htan dan galih yang artinya bagian yang terdalam dan terkeras
dari kayu.
Adalah Lantip, seorang anak penjual
tempe keliling di Wanagalih. Pada umurnya yang masih kecil, yaitu 6 tahun, ia
dititipkan emboknya yang bernama Ngadiyem di rumah keluarga Sastrodarsono,
keluarga priyayi terpandang di kabupaten. Ia sudah dianggap anak di rumah besar
tersebut.
Waktu beliau masih kecil, namanya
adalah Soedarsono, anak tunggal Atmokasan seorang Petani di desa Kedungsimo.
Kemudian saat beliau dewasa dan sudah pantas, tidak hanya pantas, namun
memiliki syarat-syarat sebagai seorang priyayi, maka oleh Pakde nya namanya di
ubah menjadi Sastrodarsono. Pada saat beliau telah dewasa, beliau di nikahkan
dengan dek Ngaisah, putri dari Bapak Mukaram yang juga memiliki background
Priyayi, sehingga ketika mereka berumah tangga, si istri benar-benar siap dan
bisa mendampingi suaminya yang seorang priyayi itu. Setelah pernikahan telah
dilakukan mereka tinggal Ploso selama setahun kemudian pindah ke kedunsimo
tinggal bersama bapak dan ibu ndoro Seten yang seketika itu menganggapnya
sebagai anak. Didepan rumahitu terdapat pohon nangka yang besar-besar buahnya.
Tak arang para tetangga di persilahkan untuk egambil nangka sekiranya butuh,
pohon itu Nampak kuat, dan besar.Sastrodarsono benar-benar seorang ayah yang
bijak dan pamong yang mampu mengayomi warga di sekitarnya. Ia bukanlah turunan
priyayi. Status priyayi diperolehnya dengan kerja keras yang luar biasa.
Pendidikan tinggi menjadi kendaraannya agar masuk sebagai kelompok priyayi.
Bersama istrinya Ngaisah
Sastrodarsono membangun keluarga priyayi. Sastrodarsono bukanlah priyayi yang
hanya duduk menikmati kemewahan yang dimilikinya. Ia masuk ke pelosok pedesaan,
membangun sekolah rakyat, dan memercikkan kebijakan bagi warga sekitar bersama
ketiga anak dan sepupu-sepupu baik dari pihaknya maupun dari pihak Dik Ngaisah.
Ia juga menanamkan jiwa priyayi yang kuat bagi ketiga anaknya untuk selalu
berada di jalan yang benar.
Keluarga Sastro Darsono perlahan
berhasil membangun keluarga priyayi mereka sendiri. Kelahiran tiga anak mereka,
yaitu Noegroho, Hardoyo dan Sumini menambah lengkap keluarga priyayi mereka.
Semua anak mereka pun sukses megikuti jejak Sastro Darsono menjadi seorang
priyayi. Noegroho yang menjadi Guru HIS kemudian banting setir ikut PETA pada
jaman pendudukan Jepang, dan kemudian pindah menjadi perwira TNI pada jaman
kemerdekaan. Hardoyo, menjadi seorang abdi Mangkunegaran dan menantunya Harjono
(suami Soemini) seorang Asisten Wedana. Dalam perjalanan hidup keluarga
Sastrodarsono tidak selalu mulus. Berbagai masalah menghadang mereka. Yang
pertama dimulai dari Keluarga nugroho yang menikah dengan Suz dikaruniai tiga
orang anak bernama Toni, Marie, dan Tommi. Anak pertamanya meninggal karena
ikut perang melawan PKI, lalu dengan meninggalnya anak sulung yang bernama Toni
itu timbul sebuah perasaan takut kehilangan anak lagi, maka mereka memanjakan
anak-anaknya. Hingga akhirnya anak kedua mereka yang bernama Marie itu hamil
karena pergaulan bebas, ia hamil anak Maridjan, seorang lelaki yang lebih muda
darinya, namun telah memiliki istri dan anak satu sebelum menghamili Marie.
Lanjut demi lanjut, mereka pun akhirnya di nikahkan dan dikaruniai dua irang
anak. Dan kelihatanya kegagalan pendidikan juga terjadi pada anak ketiganya
yang bernama Tommi yang acuh tak acuh pada setiap masalah.
Yang kedua masalah pada anak tunggal
Hardojo hasil pernikahannya dengan Srimurti yang bernama Hari yang akhirnya
juga menghamili teman satu kampus juga satu organisasi, tidak cukup itu,
kesedihan juga melanda saat Gadis, nama kekasihnya Hari harus menempuh hukuman
penjara dalam keadaan hamil. Saat keluarga Hari memberikan pertolongan untuk
Gadis, yaitu membebaskannya menjadi tahanan rumah seperti yang di alami Hari
sebelumnya, ternyata ia meninggal beberapa hari yang lalu dengan dua anak
kembarnya. Kepedihan sangat terasa.
Dan yang terakhir adalah Soemini.
Masalah tentang suaminya, Harjono yang kepincut dengan teman rekan kerjanya.
Namun pada akhirnya bisa di selesaikan.
Sekian lama, tiba waktunya Ngaisah
meninggal tiga tahun sebelum Sastrodarsono jga akhirnya meninggal. Sebelum
hari-hari kematian Sastrodarsono atau lebih akrab di sapa dengan sebutan Eyang
Kakung itu, pohon nangka yang telah ada saat mereka awal berumah tangga pun
juga ikut roboh. Itulah tanda-tanda sebelum akhirnya Eyang Kakung itu
meninggal.
Dalam cerita ini yang patut disebut
sebagai Priyayi yang sesungguhnya Adalah Lantip. Meski ia adalah anak haram
hasil hubungan Soenandar dan ibu kandungnya Ngadiyem, namun ia berhasil menjadi
seorang priyai yang sebenarnya. Terlihat dari ketulusan dan kesediaannya
membantu para anggota keluarganya. Namun ia tak bangga dengan semua tu. Cerita
ini di tutup dengan peristiwa ia mengajak tunangannya, calon istrinya yang
bernama Halimah itu ke makam Embok dan Embahnya dengan perasaan yang bahagia.
Sinopsis Novel yang lain baca di Daftar Entry >>>>
(Thanks For Visiting)
www.edyindo.blogspot.com
(Thanks For Visiting)
www.edyindo.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar