Sinopsis Novel “Khotbah di atas bukit”
Kisah
ini berawal dari sosok Barman, seorang yang sudah lanjut usia menghabiskan masa
pensiunnya di sebuah bukit yang tenang dengan seorang wanita muda. Barman
adalah mantan diplomat di paris. Perjalanan ke bukit itu jadi semacam mimpi
indah yang seolah tak ditemukan sebelumnya.
Wanita
muda itu bernama Popi, wanita yang dipilihkan anaknya Bobi. Popi adalah mantan
wanita penghibur. Barman dengan telaten diurus Popi. Popi senang melakukan itu.
“Aku suka melayanimu pap, itu keputusanku”. Popi menegaskan Barman.
Anaknya,
Bobi telah melakukan apa yang diharapkannya. Bobi telah membeli mesin
percetakan. Setelah mengetahui anaknya dapat menjalankan usaha, maka Barman
meninggalkan pekerjaanya.
Barman
tinggal di sebuah bukit yang hening. Sejak dulu memang dokter telah
merekomendasikan itu kepada Barman. Masa pensiunnya ingin diisi dengan
menikmati hidupnya. Di bukit itu. Barman ingin mendapatkan ketenangan hidup,
jauh dai hiruk pikuk kota.
Beruntung,
Barman memiliki anak-anak yang mengerti akan kemauannya. Menurutnya Popi sangat
sempurna cantik, telaten dan pandai memasak berbeda dengan isterinya yang
dahulu. Sebelumnya kakek itu ditawari beberapa wanita dan pilihannya jatuh pada
Popi. Padahal di hati kecilnya dia tidak mau memberikan ibu tiri buat
anak-anaknya. Tapi apa dikata toh anaknya juga yang memintanya.
Menurutnya
perempuan dan bunga adalah dua makhluk yang sama cantiknya. Ia mengerti tentang
Popi, dia tidak ingin kebebasan popi berkurang, “Biarlah Popi merasa seperti
apa yang dirasakannya”. Begitulah menurutnya. Barman ingin memulai sesuatu yang
baru, seperti dia dilahirkan tak membawa apa-apa, juga pikirannya. Dia ingin
sesuatu yang murni. Dia berharap hidup yang murni itu dapat ditemukannya di
bukit.
Menurutnya
ada satu yang kurang dari Popi, “betul ia sangat jinak, tetapi yang tak bisa
dimengerti. Dia tak pernah tahu kapan perempuan itu bangun. Baru
setelah semuanya siap untuknya termasuk untuk mandi Barman mengetahui
bahwa isterinya itu telah bangun. Siraman air yang mengalir dikepalanya
dirasakan seperti telah menyiram masa lalunya. “Sejarah adalah belenggu kita.
Persetanlah !”. Gumam Barman.
Suatu
ketika Barman bertemu dengan lelaki sebaya yang kemudian menjadi
sahabatnya. Humam nama lelaki tua itu. Barman bertanya “siapa kau”. “aku lelaki
penjaga bukit”. Jawab Humam. Aneh dengan segera lelaki misterius itu menghilang
seperti kelinci. Sadar telah lama meninggalkan rumah, dia pun pulang.
Karena
penasaran keesokan harinya Barman mencari kakek misterius itu. Secara tidak
sengaja Barman menemukan sebuah rumah putih. Karena capek dia langsung
masuk rumah itu. Rumah itu acak-acakan berbeda dengan rumahnya. Ternyata rumah
itu adalah rumah orang misterius yang dicarinya. Orang misterius itu
menyambutnya dengan baik. Disediakannya makanan. Setelah itu mereka berkenalan
dan berbagi cerita Barman terpukau mendengar cerita orang itu. Dari pertemuan
ini mengatahui bahwa lelaki misterius itu bernama Humam.
Beberpa
hari selanjutnya Barman pergi lagi ke rumah Humam di atas bukit. Humam
menyambut kedatangannya. Aneh, berbeda sekali rumah itu rapi tidak seperti
sebelumnya. Mereka semakin akrab saja dan bersahabat. Mereka memutuskan untuk
memancing ke sungai bersama. Menurut Humam, kesendirian adalah hakikat kita.
“Rupanya Humam adalah orang yang suka menyendiri”. Gumamnya. Humam berkata
“Keadaanku adalah ketiadaanku”. Kata-kata Humam membuatnya bingung.
Menurut
Barman hakikat hidup adalah gerak. Di saat tidak bergerak lagi, maka hidup
telah terhenti dititik itu. Humam mengatakan “Bung kesenangan itu tak
bertambah atau berkurang, kebahagiaan yang mutlak tak memerlukan apa-apa di
luar diri kita”. Lebih lanjut Humam mengatakan “Tinggalkan segala
milikmu, apa saja yang menjadi milikmu, sebenarnya memilikimu”. Perkataan itu
benar-benar memepengaruhi barman. Dipandanginya Popi sambil berkata dalam hati
“siapakah sekarang yang menguasai dan dikuasai?”.Barman mengajak Popi berjalan-jalan
ke pasar. Tak terduga Barman menghilang, akhirnya Popi pulang sendiri.
Pikirnya lelaki tua bakal pulang sendiri. Dan benar tidak lama kemudian Barman
pulang. Kemudian Popi menceritakan bahwa dia sempat kuliah selama dua tahun.
Esok
hari mereka ke pasar. Barman mengatakan kepada orang-orang pasar bahwa mereka
berbahagia tapi tidak punya tanpa bermartabat. Menurutnya hidup yang
bermartabat adalah hidup yang memilki nilai. “Kalau engkau hidup engkau
bermakna”. Begitu kata Barman.
Kemudian
Barman meminta Bobi untuk membawakan kuda untuknya sekedar untuk
berjalan-jalan. Dengan kuda itu dia berjalan sendiri ke pasar. Sesampainya di
pasar dia menemukan kerumunan yang ternyata adalah ditemuakannya humam dalam
keadaan tak bernyawa lagi. Begitulah Humam kepergiannya tidak diketahui. Entah
kenapa Barman terjatuh dari kuda dan pingsan. Barman diantarkan orang ke
rumahnya. Sesampainya di rumah, Barman mengungkapkan keinginannya untuk hidup
sendiri menikmati kebebasan saperti sahabatnya Humam.
Akhirnya
niatnya itu disampaikan kepada Popi. Dengan berat hati Popi melepas suaminya
itu. Hanya berdua saja dengan kuda putih Barman manuju rumah sahabatnya yang
telah diwariskannya. Sesampainya di rumah ia mengenang kebersamaannya dengan
Humam dan mengingat nasihat-nasihat sahabatnya itu.
Baru
dua hari berpisah Barman sudah rindu dengan isterinya yang selalu menyiapkan
segala kebutuhannya. Sempat terlintas dipikarannya ingin kembali kepada Popi
tapi kini dia telah membulatkan tekad untuk menyendiri dan menikmati kebebasan.
Suatu ketika Barman berjalan-jalan ke kota dengan menunggang kudanya pada malam
hari. Di perjalanan ia bertanya-tanya siapakah yang memberi kebijaksanaan
pada Muhammad. Dia berdiri saja, mandi cahaya rembulan dan menghirup sepuasnya
udara malam. Dia berkata kepada orang-orang di pasar itu “berbahagialah
kalian”. Mereka menjawab : “tidak, kita menderita, kita sengsara”. Sampai
akhirnya orang-orang berkesimpulan bahwa Barman adalah satu-satunhya orang yang
bahagia dan mereka hendak mengikutinya.
Orang-orang
yang mencari kebahagiaan pun berdatangan ke pondok Barman untuk mencari
kebahagiaan. Hingga mereka mengikutinya kemanapun. Kepada laki-laki yang
menuntun kudanya dai bertanya : “Mengapa kalian mencariku nak?”. Laki-laki itu
diam, begitupun orang lain. “Kami gelisah bapak tanpa engkau”. Kata seseorang
dibelakang. Pada malam itu semua orang mengikuti langkah Barman dengan kudanya
menuju bukit. Tiba-tiba ada suara “bapak jangan tinggalkan kami”. ”Tidak aku
tidak akan meninggalkan kalian, hidupku juga hidupmu, hidupmu juga hidupku” .
Barman meyakinkan mereka. Pengikut Barman lama-kelamaan semakin banyak. Barman
tahu betapa mereka membutuhkannya. Begitupun dia membutuhkan mereka.
Dalam
pertemuan berikutnya Barman memberitahukan bahwa dia harus pergi mengembalikan
kuda itu. Kepergian Barman itu dihalang-halangi pengikutnya yang beranggapan
dia akan melarikan diri. Kuda itu segera dikandang dan diurus oleh pengikutnya.
Pada
suatu pagi Barman hendak melakukan perjalanan ke bukit dan akan mengatatkan
sesuatu yang penting. Maka, merekapun berkumpul dan bersiap. Barman menegaskan
yang diperkenankan ikut hanyalah bagi mereka yang ingin mengatahui jawaban
semua pertanyaan yang telah mereka ajukan.
Barman
mengendarai kuda putih menuju bukit dengan diikuti para pengikutnya. Sesampainya
di bukit Barman bertanya : “apa yang kalian inginkan?”. Mereka menjawab : “Kami
ingin bahagia, tunjukan jalan itu !”. “Ayo berjalan”. Katanya. Sampai dia dan
para pengikutnya kelelahan.
Tiba-tiba
Barman berbisik pada penjaga tua “aku akan berbicara”. “Bapak kita akan
berbicara”. Kata penjaga tua. Mereka bersiap mendengarkan. Entah siapa pun mau
Muhammad, Jesus atau Barman sekarang waktunya berbicara. Pikir Barman. “Ini
Khotbahku”. Tiba-Tiba suasana Hening. “Hidup ini tak berharga utnuk
dilanjutkan”. Kalimat ini diucapkannya dengan dengan terisak dan hampir
menjerit. Orang-orang terpukau. “Bunuhulah dirimu!” seru Barman. Mereka
mengulang kata-kata itu dalam hati dan tidak lama kemudian terdengar isak
tangis. “Kemanakah bapak ?, jangan tinggalkan kami bapak!”. Mereka menoleh
kesemua sisi dan ternyata hanya kabut. Taka lama kemudian diteketemukan Barman
sudah tidak bernyawa. Begitulah rupanya Barman ingin meniru Humam yang
menikmati kebebasan dan kesendirian. Tidak lama kemudian Popi dan anak-anaknya
pun mengetahui perihal Barman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar