Sinopsis Novel
Saman
Empat
perempuan bersahabat sejak kecil. Shakuntala si pemberontak. Cok si binal.
Yasmin si "ja'im". Dan Laila, si lugu yang sedang bimbang untuk
menyerahkan keperawanannya pada lelaki beristri.
Tapi,
diam-diam dua di antara sahabat itu menyimpan rasa kagum pada seorang pemuda
dari masa silam: Saman, seorang pastor yang akhirnya memilih untuk meninggalkan
panggilan imamatnya demi menjadi aktivis di antara kaum miskin. ia pun menjadi
buron dalam masa rezim militer OrdeBaru sehingga harus melarikan diri ke luar
negeri. kepada Yasmin, atau Lailakah, Saman akhirnya jatuh cinta?
Novel Saman
mendapat penghargaan Roman Terbaik Dewan Kesenian Jakarta 1998 dan telah
diterjemahkan dalam enam bahasa asing: Belanda (de Geus), Perancis
(Flammarion), Jepang (Mokusheisha), Jepang (Horlemann), Inggris (Equinox), dan
Cheks (Dybbuk). Kini juga dalam proses penerjemahan ke dalam bahasa Korea.
Central
Park, 28 Mei 1996
Di taman
ini, saya adalah seekor burung.
Terbang
beribu-ribu mil dari sebuah negeri yang tak mengenal musim, bermigrasi mencari
semi, tempat harum rumput bisa tercium, juga pohon-pohon, yang tak pernah kita
tahu namanya, atau umurnya.
Aroma kayu,
dingin batu, bau perdu dan jamur-jamur—adakah mereka bernama, atau berumur?
Manusia menamai mereka, seperti orang tua memanggil anak-anaknya, meskipun
tetumbuhan itu lebih tua. Rafflesia arnoldi, memang tidak mekar di Central
Park, melainkan di hutan tropis dataran tinggi Malaya, tetapi kita tahu laki-laki
Inggris kemudian menjadi ayah bunga itu. Orang-orang berbicara tentang segala
yang tumbuh, yang ditanam maupun liar, seolah mengenal mereka lebih daripada
pokok-pokok itu sendiri mengenal dingin dan matahari, ataupun hangat bumi.
Namun binatang idak menghafal pohon-pohon karena namanya, seperti seekor induk
atau sepasang tidak memanggil tetasannya atau susuannya dengan nama. Mereka
mengenal tanpa bahasa.
Di taman ini
hewan hanya bahagia, seperti saya, seorang turis di New York. Apakah keindahan
perlu dinamai?
Pukul
sepuluh pagi.
Meski hari
masih muda, bayang-bayang telah menjadi lisut, sebab setiap tahun di akhir semi
siang sudah semakin lama. Unggas kecil mencari matahari dari celah-celah daun,
membiarkan garis-garis cahaya memanasi birahi hingga tanak seperti nasi.
Beberapa, yang terdengar bernyanyian, akan pacaran dan kawin di musim ini.
Seperti sepasang mungil yang berdada putih itu. Yang jantan bermantel coklat
tua, yang betina coklat muda. Kita pun tidak tahu namanya. Kita cuma tahu,
mereka bahagia. Adakah keindahan perlu dinamai?
Seorang
gelandangan yang berbaring di bangku menggeliat dalam selimut yang berdebu.
Kita tidak tahu siapa dia, apa warna kulitnya. Tapi kita tahu, dia menikmati
tidur. Saya sedang berbahagia, begitu saya akan menjawab jika ia bangun dan
bertanya apa saja. Bahkan jika ia bertanya dari dalam mimpi. Saya akan pacaran,
seperti burung berbusung bersih di ranting tadi. Saya akan pelukan, ciuman,
jalan-jalan, dan minum di Russian Tea Room beberapa blok ke barat daya. Mahal
sedikit tidak apa-apa. Sebab hari ini cuma sekali.
Sebab saya
sedang menunggu Sihar di tempat ini. Di tempat yang tak seorang pun tahu,
kecuali gembel itu. Tak ada orang tua, tak ada istri. Tak ada hakim susila atau
polisi. Orang-orang, apalagi turis, boleh menjadi seperti unggas: kawin begitu
mengenal birahi. Setelah itu, tak ada yang perlu ditangisi. Tak ada dosa.
Dan kalau dia datang ke taman ini, saya akan tunjukkan beberapa sketsa yang saya buat karena kerinduan saya padanya. Serta beberapa sajak di bawahnya. Kuinginkan mulut yang haus/ dari lelaki yang kehilangan masa remajanya/di antara pasir-pasir tempat ia menyisir arus. Saya tulis demikian pada sebuah gambar cat air. Barangkali sebuah kilang minyak di tengah ombak, entahlah. Gambar dan sajak tak perlu definisi dan tak perlu diterangkan. Mereka cuma menyimpan perasaan. Barangkali juga keindahan.
Dan kalau dia datang dan melihatnya, dia akan tahu sudah terlalu kangen saya pada bau pelukannya, pada hangat lidahnya yang harum tembakau Skoal. Sebetulnya ia senang perokok, tetapi ia tidak menghisapnya karena ia menimbang perasaan orang-orang yang tak suka asap rokok. Kini ia hanya mengunyah biji-biji hitam tembakau, menyedot tanpa asap. Ia sopan dan pagi ini sudah empat ratus dua hari setelah ciuman kami yang terakhir—pertemuan terakhir kami juga.
Dan kalau dia datang ke taman ini, saya akan tunjukkan beberapa sketsa yang saya buat karena kerinduan saya padanya. Serta beberapa sajak di bawahnya. Kuinginkan mulut yang haus/ dari lelaki yang kehilangan masa remajanya/di antara pasir-pasir tempat ia menyisir arus. Saya tulis demikian pada sebuah gambar cat air. Barangkali sebuah kilang minyak di tengah ombak, entahlah. Gambar dan sajak tak perlu definisi dan tak perlu diterangkan. Mereka cuma menyimpan perasaan. Barangkali juga keindahan.
Dan kalau dia datang dan melihatnya, dia akan tahu sudah terlalu kangen saya pada bau pelukannya, pada hangat lidahnya yang harum tembakau Skoal. Sebetulnya ia senang perokok, tetapi ia tidak menghisapnya karena ia menimbang perasaan orang-orang yang tak suka asap rokok. Kini ia hanya mengunyah biji-biji hitam tembakau, menyedot tanpa asap. Ia sopan dan pagi ini sudah empat ratus dua hari setelah ciuman kami yang terakhir—pertemuan terakhir kami juga.
Saya selalu
ingat dan berulangkali menghitung tanggal. Sebab siang itu menyisakan
kegetiran, seperti biji duku yang tergigit lalu tertelan, juga kerinduan akan
kesempatan lain yang mungkin. Yang barangkali juga tidak mungkin. (Semoga hari
ini menjadi mungkin.)
Kami berada
di sebuah kamar hotel. Saya hampir-hampir gemetaran karena malu dan berdebar.
Saya belum pernah sekamar dengan seorang laki-laki sebelumnya. Dia diam, tidak
bercerita apakah dia pernah membawa perempuan seperti ini. Tetapi dia adalah
seorang lelaki yang bekerja di kilang minyak, yang menghabiskan beberapa bulan
di tengah hutan atau lautan, dari sana kehidupan terdekat hanyalah
warung-warung kecil dengan pelacur di biliknya yang muram dan berlumut pada dinding,
atau perkampungan yang banyak gadis-gadis ranumnya senang dikawini oleh para
buruh perminyakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar