SINOPSIS NOVEL " RANAH 3 WARNA"
Dalam
novel pertama, penulis (A.Fuadi) telah berhasil membawa pembacanya menyelami
dunia pondok pesantren yang selama ini mungkin hanya dikenal oleh para penghuni
dan alumni penghuninya. Tapi seorang alumni Pondok Pesantren Gontor, telah
dengan lihat mengajak kita menyelami dunia pondok pesantren yang selama ini
samar-samar. Buku kelanjutan Negeri 5 Menara ini memulai kisahnya dengan acara
memancing antara Alif dengan sahabat baiknya, Randai, di tepi Danau Maninjau.
Potongan adegan ini menggambarkan bagaimana Randai telah melecut semangat juang
Alif, yang alumni pesantren, untuk melangkah ke jenjang universitas yang
diinginkannya. Diceritakan bagaimana perjuangan Alif menempuh ujian persamaan,
dan dengan apik serta mendatangkan dercak kagum, Ahmad Fuadi telah membuat kita
melihat bagaimana perjuangan sungguh-sungguh seorang "anak kampung"
alumni pondok pesantren yang lebih banyak belajar soal Agama, mencapai
universitas negeri impiannya.
Sejak
perjuangan Alif mengikuti ujian persamaan, matera "man Jadda Wajada"
yang selalu menjadi andalan semangatnya terus didengungkan kepada setiap
pembacanya, membuat kata-kata itu seperti terpatri juga dalam hati para
pembacanya, dan menjadikannya sebuah nilai tambah, ketika "mantera"
tersebut ikut "memanaskan" suasana perjuangan tokoh utama dalam novel
ini. Alif, yang akhirnya berhasil menembus salah satu universitas negeri di
Bandung, semakin ditempa oleh pengalaman manis dan pahit yang silih berganti
menyapanya. Kehilangan salah seorang yang dikasihinya menjadi klimaks awal dalam
novel ini, terbukti dengan berawal dari kejadian pahit tersebut, Alif berusaha
bangkit semampunya, dan menyempurnakan "mantera", bukan lagi sekedar
"Man Jadda Wajada" tapi juga "Man Shabara Zhafira", Siapa
yang bersabar akan beruntung.
Kata-kata
yang didengarnya pertama kali dari Kiai Rais, gurunya di Pondok Pesantren
Madani, membuatnya lebih sabar menghadapi hidup dan sekali lagi mengajak
pembacanya untuk ikut menyelami lika-liku perjuangan untuk mencapai kesabaran
itu sendiri. Perkenalan Alif dengan Bang Togar Parangin-angin, yang merupakan
seniornya di majalah kampus adalah sebuah "warna" yang menarik dalam
novel ini. Lewat sosok pemuda Batak yang ceplas-ceplos namun berhati baik ini,
Alif mulai membuka wawasannya tentang dunia tulis menulis.
Ditempa secara "ekstrem" oleh
seniornya itu membuat Alif tidak kecil hati. Seperti cerita-cerita sebelumnya,
Alif menganggapnya sebagai sebuah kompetisi, dan ia selalu ingin keluar sebagai
pemenang! Berkat bantuan ilmu dari Bang Togar Parangin-angin ini juga Alif bisa
mulai membiayai sendiri hidupnya di tanah perantauan. Di pertengahan novel,
kita akan mulai dibawa kembali pada mimpi Alif menjejakan kaki di benua
Amerika. Ketika teman-temannya menertawakan mimpinya, Alif tidak gentar. Ia
terus berjuang hingga akhirnya memperoleh suatu peluang melalui suatu program
pertukaran pelajar. Alif yang tidak pandai seni harus memutar otaknya demi
memenangkan kompetisi. Baginya, bukan hanya seni yang harus dipamerkan di
negeri orang, tapi intelegensi juga seharusnya berperan. Ia berjuang menarik
perhatian para juri untuk mempertimbangkannya untuk bisa lolos dari ujian ini.
Ketika
akhirnya Alif bisa menginjakkan kaki di benua impiannya, pembaca seolah diajak
bersamanya menjelajah dunia yang sungguh-sungguh baru. Seorang anak kampung
yang hanya bermodal mimpi, kini bisa menginjakkan kaki di benua yang tadinya
hanya angan-angannya bersama rekan Sahibul Menara. Benua Amerika tidak lagi
sejauh matanya memandang awan yang membentuk goresan Negeri Paman Sam itu. Ia
menginjakkinya.
Menjejakan
langkahnya untuk mulai berpetualang, walaupun ia harus terima bahwa
keinginannya untuk memperlancar bahasa Inggris terbentur dengan budaya di
tempatnya ditempatkan yang tidak berbahasa Inggris. Tapi bukan Alif namanya
kalau ia menyerah begitu saja. Novel ini sungguh menyajikan "angin
segar" diantara novel lainnya yang sudah mendahuluinya. Tidak hanya
sekedar fiksi belaka, namun tuangan pengalaman hidup, ketepatan penggambaran
suasana, serta kekayaan batin penulisnya, membuat isi novel ini seperti hidup.
Kita benar-benar seperti diajak menjelajah ke benua Amerika, ikut menyelami
budaya penduduk Quebec, daerah kecil tempat Alif ditempatkan selama kurang
lebih enam bulan, dengan segudang cerita interaksi Alif dengan penduduk
sekitar. Sayangnya, saya merasa kehilangan Bang Togar Parangin-angin, yang di
awal novel ini menyumbang "cerita manis". "Keberadaan" Bang
Togar tiba-tiba saja lenyap di pertengahan novel hingga pada halaman terakhir.
Padahal, tokoh yang satu ini berjasa dalam perjalanan kehidupan Alif di
Bandung.
Namun
dengan semua kelebihan dan kekurangannya, novel ini sungguh layak dan
disarankan untuk dibaca oleh setiap orang yang merasa "kerdil" akan
impian, merasa nyaris putus asa, dan wajib juga dibaca oleh setiap orang yang
sedang berlari dan tidak berhenti berlari mengejar mimpi-mimpinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar